Corat-coret, Jurnal Sepeda

Mendaki Dinding Melasti

Ada satu hal di sepeda yang membuat saya penasaran semenjak selesai Tour kemarin. Mendaki. Sebenarnya climbing adalah momok terbesar saya sejak pertama kali diajak bersepeda bareng geng sepeda penuh sahaja ini. Lari boleh saja saya kuat, long-ride? Oke hajar! Tapi untuk climbing, saya mesti nunas ica dan mesesangi dulu, berharap bisa lulus.

Tantangan yang dihadapi bukan sekadar soal kuat atau tidaknya paha mengayuh pedal, tapi juga pada mental dan strategi memilih gear yang pas, bahkan sejak sebelum tanjakan terlihat. Saya masih terbilang anak bawang di atas pedal, jadi wajar rasanya masih merinding begitu mendengar tanjakan. Tapi berkat bertahan hidup selama 2 hari kemarin, rasanya saya seperti dikarbit karena dipaksa untuk ambil jam terbang tinggi prematur.

Saya jadi ingin tahu seberapa saya naik level, seberapa besar pengaruh event kemarin untuk saya dan teman-teman. Sebelum ke sini, kami bareng satu teman DnS baru menjajal tanjakan Pura Gunung Batukaru.

2016-07-24-01.31.25-2.jpg.jpg

Ary Manuaba, welkam-tu-de-klab!

Sebenarnya tak kalah mematikan, tapi lebih manusiawi karena naiknya panjang. Kita masih bisa berhenti di pertengahan untuk ambil napas dan istirahat.

Lain lagi ceritanya dengan Pantai Melasti ini. Hampir mirip Pantai Pandawa, pantai di sisi tebing lainnya, jalan turun menuju pantai ini dibuat oleh manusia dengan membelah bukit karang. Pada umumnya, jalan yang dibuat manual seperti ini biasanya dibagi menjadi segmen-segmen yang dipisah oleh tikungan tajam. Dan yang terpenting, jalannya adalah turunan. Dan di mana ada turunan, pasti ada tanjakan!

Duet Menantang Aspal

Sebenarnya ride mingguan kami untuk kali ini bukanlah Melasti. Tujuan DnS minggu ini adalah fun ride di salah satu SMA terkenal di Denpasar. Ini cuman saya yang penasaran, dan Ade yang berbaik hati jadi guide saya. Awalnya ada Pak Je (Jaya) yang ingin ikut juga, tapi akhirnya berhalangan karena deadline. Ah sayang. Padahal saya sudah berharap bakalan ditarik sepanjang jalan oleh 2 climber DnS :v

Tak apa, itu artinya saya bisa latihan narik di depan, meski pun cuman untuk satu orang.

2016-07-31-04.51.11-1.jpg.jpg

Titik kumpul: Lio Square. Itu Om-Om Bule seberang jalan ngeliatin terus dari tadi

Ade datang tak lama setelah saya sampai. Kami langsung hajar ke selatan. Ada dua tanjakan agung menanti kami di rute kali ini.

Tanjakan STP: Revisited

Jadi jauh sebelum saya kenal Pantai Melasti, yang menjadi momok di rute selatan adalah ini: Tanjakan menuju STP (Sekolah Tinggi Pariwisata Bali). Daerah Bali Selatan memang daerah bukit kapur yang dirubah sedikit demi sedikit untuk dihuni. Jadi wajar rasanya jika banyak tanjakan dan turunan di sana-sini.

Ade, kebetulan juga tinggal di dekat sini. Jadi gak heran juga kalau nanjaknya jago :v
(biasanya kalau ada ride, pasti ke kampung halaman dulu, di Kapal)

Balik ke tanjakan STP, sebenarnya kalau bawa motor gampang, tinggal pasang gear bawah dan geber gas. Walaupun motor matic, saya rasa tak ada masalah. Nah ini, kami bawa sepeda. Dari rumah pula. Bisa dibilang setengah dari persediaan energi kami untuk ride sudah menguap sepanjang jalan ke sini. Ditambah lagi angin yang lumayan kencang, dan ada tanjakan lumayan terjal saat kita masuk ke areal Bualu. Ah mantap lah.

Sebenarnya kami berdua sudah lulus di sini, tapi saya pengen tahu seberapa tahan saya nanjak setelah sekian lama. OK, menjelang tanjakan saya pasang gear agak ke tengah untuk membentuk momentum. Sebentar sebelum tanjakan, saya naikkan satu step, dan saya mulai off-saddle. Selama tanjakan, ternyata masih ngos-ngosan juga :v Sampai atas napas saya habis, rasanya hampir sesak. Tapi hanya itu. Sebentar istirahat badan saya sudah siap lagi. Tapi sebentar, Ade perlu mengosongkan hidung dulu, tadi dia nanjak dengan muatan banyak. Pilek.

2016-07-30-06.41.18-1.jpg.jpg

2016-07-30-06.40.55-1.jpg.jpg

2016-07-30-06.41.33-1.jpg.jpg

“udah lega”

Kok bisa nanjak pake hidung mampet, De?
(salim)

Menuju Melasti

Jalan menuju Melasti ini enak. Ada beberapa ruas jalur yang kanan-kirinya ditumbuhi pohon perindang jalan lumayan tinggi, rapat pula. Jadi serasa ride di hutan. Daerah sini sangat sepi penduduk. Hanya ada beberapa rumah di satu sisi, kemudian tanah kosong beberapa ratus meter ke depan. Jadi enak, jalan hanya milik kami berdua. Ada beberapa villa juga sepanjang jalan. Sayangnya saya tak sempat berhenti untuk mengambil foto. Nanti lah, kami kunjungi lagi Pantai ini rame-rame. Rasanya belum semua teman-teman DnS pernah ke sini dengan sepeda.

Di ujung jalur, ada jalan turun ke kiri yang agak seram. Kanan kirinya tak lagi pohon, tapi semak yang lumayan tinggi. Tebing terbelah sudah terlihat, tak jauh di depan. Kami sampai.

Ah, perjalanan kali ini sangat-sangat worthed. Melihat view pantai dari atas seperti melepas lelah selama perjalanan barusan. Saya lupa sebentar kalau nanti bakal nanjak mati-matian 😀 Sudahlah, mari dinikmati dulu.

2016-07-30-06.44.39-1.jpg.jpg
2016-07-30-06.44.50-1.jpg.jpg

Di sana kami sempat ketemu beberapa pesepeda lain. Setelah kenalan, kamu tahu kalau mereka berasal dari sekitar sana. Tak jauh. Uniknya sepeda ya begitu. Dimanapun ketemu, paling tidak pasti paling tidak tegur sapa, atau malah ngobrol panjang dan foto bareng, kalau sempat. Tak peduli dari mana, sepeda apa, atau umur berapa, sekali ketemu seperti ada kedekatan tersendiri. Serasa ketemu teman lama, padahal baru kenal.

fb_img_1469885329894.jpg

Linz, Wayan dan Gede. Ternyata kenalan Pak De Cedi

Ngobrol dan isi ulang perut sebentar, sekarang saatnya saya sudahi rasa takut ini.

Let’s be done with it

Oke. Mari kita tuntaskan ini. Kami mulai menuju barat, bukit tempat tanjakan berada. Saya kira pantai ini hanya ada satu jalan keluar masuk, dan tanjakan tempat saya turun tadi adalah tanjakan maut yang dimaksud. Tapi bukan. Udah agak senang sebenarnya kalau turunan masuk tadi yang dibilang mematikan. Sombong. Tapi saya salah, secara mengenaskan.

Jalan menuju barat mulai menanjak begitu berbelok lagi ke utara. Yang tadinya saya kira masih datar, ternyata sudah mulai berat bahkan sebelum terlihat menanjak. Apa ini?!

Belok ke selatan tak jauh di depan, Ade sudah pasang gear paling besar. “Yih, De, dadi selidan be gigi gede?” (kok dari awal sudah pasang gigi besar?). Ade cuman cekikikan. Hati saya melengos. Dewa Ratu. Seumur-umur naik sepeda, baru kali ini saya ketemu tanjakan yang bahkan dari awal sudah harus pasang gigi besar. Paling besar. Biasanya saya ganti naik secara bertahap, bahkan biasanya gigi pamungkas nomer 30 itu hampir tak pernah keluar. Gigi ribut. Saya cuman bisa nurut, ikut pasang kombinasi yang sama. Ade sebenarnya malah cuman 28 😤

Mantap De!

Tanjakan mautnya baru terlihat setelah jalan di bukit kapur itu belok lagi ke utara. Dan astaga-ya-Tuhan-terjalnya! Pantesan dibilang dinding. Panjangnya sebenarnya tak seberapa, mungkin tak sampai 200 meter. Tapi kemiringannya sudah bikin saya ciut dari awal :v Ah, sudah! Pelan tapi pasti Rik!

Saya mulai dancing dari awal tanjakan. Sial, bukit kapur tadi juga berupa tanjakan, jadi napas saya sejak awal ini memang sudah setengah. Asem!  Paha saya sudah protes bahkan di 4 kayuhan pertama. Saya gak maju-maju juga! Ini kalau saya paksa lepas cleat dan turun, resikonya saya bakal gelinding jatuh ke belakang. Maju, tapi paha menjerit, ditambah gak boleh turun, karena takut jatuh. Gak, gak boleh!

Ade sudah hampir sampai atas. Sementara tangan saya mulai kesemutan, setengah tanjakan sudah lewat. Napas saya sudah entah gimana, jelas sekali terdengar. “Napas Rik, masuk, keluar, masuk, keluar…” Sebegitu sesaknya, sampai-sampai saya harus 100% sadar hanya untuk bernapas. Tangan sudah saya kunci sedari tadi. Kontrol saya pada mereka tipis. Paha saya mulai tak terasa. Sedikit saja lengah, selesai sudah. Arrgh, gak boleh turun! Gak Boleh!

Dan akhirnya…

2016-07-30-06.45.11-1.jpg.jpg

Lulus! 😆
(sujud syukur)

Ah sudah. Tarik napas bentar.

Tak sampai sepuluh menit, tapi rasanya setengah mati. Ternyata di ujung tanjakan, teman-teman yang kenalan barusan juga lagi istirahat. Haha. Terlihat tak lebih segar dari kami. Padahal mereka bawa MTB, yang notabene harusnya lebih enak di tanjakan. Tapi mungkin hitungannya hampir sama ya. MTB, gear besar (depan kecil) banget tapi frame-nya lebih berat. Road Bike, frame ringan tapi gearnya gak sebesar (atau kecil) dari MTB.

Saya pikir semuanya balik ke yang mengayuh. Mental kami ditantang untuk bertahan dalam kondisi fisik yang dipaksa maksimal. Saya malah ngerasa hampir pingsan barusan. Tapi semangat untuk sampai di atas yang membuat bertahan, untuk berhasil lulus di tiap tanjakan.

Sepanjang jalan pulang saya penuh semangat. Padahal harusnya capek ya. By Pass Ngurah Rai itu panes minta ampun setelah jam 9. Belum lagi traffic-nya yang mulai padat. Tapi beberapa kali saya narik di depan, tanpa sadar Ade kejauhan di belakang. Malah sampai protes “Uli tunian 30km/h, kal ngalih 40 ne Om?!”

2016-07-30-06.45.01-1.jpg.jpg

“ah, cuman gitu tok”

Ampure De, dan terimakasih banyak!

Oke fix. Lulus! Sekarang yang repot adalah, kalau nanti ke sini lagi, saya sama sekali gak boleh turun, atau itu bakal jadi hutang yang harus saya bayar di ride berikutnya.

Standar
Jurnal Sepeda

Apa Itu Capek: DNS Tour Keliling Bali – 2

Etape 2

Jadi ada beberapa hal menarik yang terjadi malam itu hingga pagi. Pertama, kasur empuk itu bukan jaminan tidur nyenyak. Ya, beberapa menit pertama memang terasa begitu nyaman rebahan setelah seharian bungkuk di atas sepeda. Tapi begitu diniatkan untuk tidur, saya putus asa. Karena memang saya tak terbiasa menginap, kemudian kaki saya yang mulai panas, protes minta dimanja setelah dipakai seharian. Arrrgh!

Kedua, kecapaian juga bukan jaminan tidur nyenyak. Saya malah uyang. Tidur hanya bisa tidur ayam. Lewat sebentar, kemudian bangun lagi. Kaki saya sudah didempul dengan Counter Pain Cool yang ternyata secara ajaib bikin kaki saya gak bandel lagi. Sementara di kasur sebelah, Pak Je (Jaya) sedang mimpi, kentara sekali napasnya pelan dan dalam. Saya iri! :v

Akhirnya saya bangun sebentar untuk kucek jersey sedikit agar tidak terlalu masam besok. Cek status charge HP dan headset, kemudian rebahan lagi. Saya nyerah. Saya setel Banda Neira sealbum yang setau saya bisa jadi pengantar tidur. Sedikit berhasil, saya jadi bisa tidur sejenak, meskipun tidak nyenyak. Saya kangen bantal guling di rumah.

Tanpa terasa, ternyata sudah pagi.

Esa Tanpa Sarapan

Jadi kami booking 3 kamar untuk satu malam. Ketiganya double bed, dan satu kami minta satu bed dengan ukuran besar. Nah di kamar yang itu, Esa, Adi dan Azi yang dapat. Malang di Esa, saya sudah tebak bakalan tak nyaman tidur agak berdesakan di kasur untuk 2 orang. Ditambah hari itu kami semua kecapaian. Adi dan Azi sepertinya tidur tanpa masalah. Esa, di pihak lain, gelisah karena kakinya juga protes, seperti saya 😀

Belakangan juga pagi itu, saya baru tahu kalau jatah sarapan dihitung berdasarkan kamar. Jadi karena kita pesan 3 kamar double bed, maka jatahnya adalah 6 porsi sarapan yang termasuk dalam pembayaran. Esa sukarela tak kebagian sarapan pagi itu, jadi kami berikan sisa-sisa cemilan yang kami makan kemarin. Sarapan saya jadi gak begitu enak. Banyak terimakasih dan maaf, Sa!

Baru kepikiran, kenapa gak mesen sarapan ekstra ya?

Here We Go Again

Sebenarnya kaki saya sudah agak mendingan setelah absen di kasur semalaman tadi. Yang jadi masalah sekarang adalah, bagian bawah. Bokong saya Ya-Tuhan-kebas-gak-keruan. Kaku, bengkak, sama-sekali tak nyaman. Saya coba melemaskan badan sedikit dengan keliling bersepda di areal hotel. Dan ya, bokong saya protes. Haha.

Tapi, kami masih punya 190 kilometer lagi menuju rumah!

I surrender to whatever happens the following day

 

Jadi setelah kemarin kami buat sepuh kami sebagai bahan bercandaan, dengan hash tag #LiatAdiGak, hari ini kami punya misi. Adi, yang jarang pedal belakangan ini dan langsung hajar Grand Fondo sekalinya come-back, akan kami dorong dan tuntun agar tak tertinggal dari rombongan lagi.

Perjalanan mencari kitab suci, ke barat

Sebenarnya saya ingin sekali bantu narik di depan, memecah angin untuk teman-teman di belakang. Tapi untuk tetap di rombongan di posisi belakang saja ternyata nafas saya sudah tak karuan. Saya khawatir malah jadi memperlambat semuanya, yang saya tahu ingin segera sampai Denpasar lagi. Bergiliran, Ivan, Esa, Jaya dan bahkan Ade membuka jalan di depan. Azi kebanyakan tetap paling belakang, jaga-jaga kalau kakaknya tertinggal lagi.

Akhirnya di satu kesempatan saya dapat kehormatan itu. Kita sepakat untuk menjaga kecepatan maksimal di 25 km/jam. Selain untuk mencegah Adi tertinggal lagi, juga untuk mejaga stamina agar bisa kami tahan hingga malam nanti.

Indomaret PLTU Celukan Bawang

Adi memberi isyarat untuk isi ulang. Ternyata kantong airnya belum diganti dari kemarin. Rasanya mulai aneh, katanya. Oke. Mata kami refleks menyusuri pinggir jalan mencari plang minimarket terdekat. Yang pertama terlihat? Indomaret (lagi). Ah, sudah fix buat saya semenjak kemarin, surga kami di setiap pemberhentian jalan kami ya ini. Konyolnya, saya hanya terpaku pada plang kuning di depan, tanpa sadar apa yang saya lewati di kanan.

Kami tak berhenti lama, sadar kalau waktu hari itu hampir siang, dan kami masih jauh dari tempat makan siang.

Bergantian satu per satu dari kami maju ke depan untuk memimpin rombongan. Mengatur kecepatan dan memecah angin dari depan. Rute ke arah barat menuju Gilimanuk ini tak terlalu ekstrim. Hanya saja memang rolling, jika di lihat ke depan jalan terlihat bergelombang, naik, turun, naik, kemudian turun lagi, tapi tak sampai membuat kami berhenti memedal. Agak membosankan memang, terlebih jalannya kebanyakan lurus.

Pura Pulaki & Flat Tire Ketiga: Pak Je

Jadi kami sempat singgah sebentar, sayangnya hanya untuk foto, di depan Pura Pulaki

Udah mulai bosen dengan pose yang ini, tapi kami terlalu malas untuk memikirkan pose baru. Ya sudah.

Rasanya saya hampir bisa tidur di jalan sangking bosannya, kalau saja saya tidak sedang di atas sepeda. Jenuh. Tapi tiba-tiba Pak Je di depan berhenti. Saya tak ingat nama daerahnya, tapi yang jelas dekat sepasang candi bentar di sebelah warung. Pak Je (Jaya) flat tire belakang.

Sebenarnya saya agak sedikit bersyukur karena bisa istirahat sebentar. Haha. Kami berhenti sejenak sambil menunggu Pak Je dan Ajik mengganti ban belakang. Ini salah satu ilmu yang penting yang saya pelajari selama dalam perjalanan. Lebih memuluskan pengalaman saya (melihat) ganti ban.

Dulu sekali saat pertama bersepeda, hal pertama yang menjadi momok bagi saya adalah ban pecah, terlebih ban belakang. Ini karena cassette atau gear belakang yang digunakan untuk mengatur kecepatan merupakan bagian dari ban belakang. Jadi ketika perlu diganti, berarti cassete akan ikut dilepas dari rantai. Gimana masangnya nanti? Teorinya sih tahu, tapi melihat langsung tetap lebih baik :p

Kami juga sempat bagi-bagi penghilang pegal selama istirahat ini. Mungkin kalau tak pakai ini sebagai pengganti lotion pagi tadi, mungkin saya akan menderita setengah mati karena paha sudah pasti protes tak dapat istirahat cukup. Konterpein Cool as lotion. Yeah!

Taman Nasional Bali Barat

Ini adalah salah satu trek yang menjadi beban pikiran saya semenjak punya ide keliling Bali. Entah seberapapun menyenangkannya bersepeda ditemani pemandangan hijau di kanan-kiri, jika terlalu panjang, malah akan jadi tantangan bagi mental.

Tepi pinggir dari Taman Nasional ini sendiri sebenarnya memang menyenangkan untuk dilewati. Dengan mobil. Dengan sepeda lain lagi ceritanya. Memang beberapa kilometer pertama semua indah, begitu keren bersepeda di jalan sepi, di kanan dan kiri pohon rindang dengan bukit berbatu di kejauhan, kemudian ditemani beberapa lagu soundtrack saya saat bersepeda. Capek dari tadi serasa hilang.

Tapi semua berubah ketika otak mulai terbiasa dengan sekitar. Dia ingat lagi dengan paha yang pegal, napas yang tinggal setengah, dan panas terik matahari yang sedari tadi tanpa sadar sudah mengikuti.

Kami sempat istirahat sebentar di tempat parkir kosong (sepertinya) yang kami temui di jalan. Semua sudah tak bisa lagi menyembunyikan raut muka lelahnya. Haha. Hari kedua ini memang benar-benar menguji batas mental dan fisik. Adi dan Ajik sebenarnya mulai melambat sedari tadi, tapi saya ikuti dari belakang sampai akhirnya kami berhasil mengejar teman-teman di depan.

Sedikit reda capek kami, kita lanjutkan kembali perjalanan. Masih di hutan, tapi kali ini tidak ada tanda-tanda peradaban sama sekali. Kalau tadi masih ada saja warung atau bengkel di tepi jalan, kali ini hanya ada aspal mulus sejauh mata memandang ke depan. Tapi saya sedikit senang, karena ternyata banyak turunan dan hanya sedikit tanjakan yang kami temui di sini. Sisanya hanya jalan datar. Tidak terlalu datar. Di sinilah saya tinggal Ade, Pak Je, Adi dan Ajik di belakang.

Di satu bagian jalan terdapat tanjakan dengan belokan yang cukup curam. Saya memang belum terlalu mahir mengatur tempo di tanjakan apalagi harus mengikuti tempo teman yang lain. Ya sudah, dengan berat hati saya salip ke depan karena napas saya sudah mulai memburu. Saya ingin segera menyudahi tanjakan yang ini, dan nanti akan saya tunggu mereka di depan. Niatnya. Ternyata setelah tanjakan tadi adalah jalan landai. Momentum saya masih lumayan setelah tanjakan tadi. Pas! Ini adalah kesempatan untuk menguji sejauh mana saya bisa sprint dengan posisi drop bar. Maaf Bli, saya tinggal sekalian. Haha.

Sampai satu saat saya sadar Adi dan Ajik tak juga kelihatan di belakang. Ade sepertinya masih tertinggal. Pak Je yang tadi sempat menyalip saya juga tak terlihat lagi di depan. Saya sendiri! Dan percayalah, mengayuh sendirian di jalan sepi di tengah hutan itu, benar-benar ujian berat. Saya tak punya teman di depan untuk acuan kecepatan, juga tak punya teman di belakang untuk sekedar membagi senyum. Rasanya ingin sekali berhenti sebentar, menarik napas. Tapi saya ingin segera keluar dari hutan ini. Arghh!

Lama saya mengayuh hanya dengan harapan di belokan berikutnya, saya bakal melihat Ivan, Esa atau Pak Je. Rasanya sudah hampir habis stok motivasi saya, tapi mereka tak juga muncul. Ah, sudahlah. Saya kayuh sekenanya saja. Posisi saya masih di drop bar sedari tadi, tapi bukan untuk sprint. Napas saya hampir di ujung. Sial. Padahal medan jalannya bukan tanjakan, atau rolling. Apa ini? Saya terus mengayuh, hanya dengan harapan tipis.

Pedal lagi Rik, cepat keluar dari sini! (dalam hati)

Sampai akhirnya…

Yes! Esa, Ivan dan Pak Je sedang geletakan, tepat sebelum Gapura Jalak Bali, pertanda Pelabuhan Gilimanuk sudah di depan mata. Haaaah! Ha ha ha! Saya tertawa sendiri mengingat betapa putus asanya barusan di jalan. Ade menyusul tak sampai sepuluh menit kemudian. Setelahnya kami hanya bengong. Merenung, trek apa tadi itu barusan? :v

lemesin bro

Men Tempeh Gilimanuk

Gilimanuk. Artinya kami sudah berada di ujung barat Bali, setidaknya yang bisa dilewati sepeda. Adi dan Ajik masih tertinggal lumayan jauh. Kami putuskan untuk duluan ke arah pelabuhan, kabarnya ada satu Indomaret di sini. Penyelamat kami. Dan kebetulan Bawok (Bawa) teman DNS lainnya juga dinas di sini. Sudah, kami meetup sambil makan siang. Dan menunya apa?

Seharian kepanasan di jalan dan sekarang makan super pedas, ide bagus!

Sebenarnya saya agak khawatir bagaimana perut saya bakal bereaksi nanti di jalan. Tapi sudahlah. Saya terlalu lapar untuk memikirkan beratnya seharian ke depan. Yang ada di pikiran saya hanyalah Ayam Betutu.

Kepedesan level: langsung cegukan di suapan pertama.

Bawok (Bawa), ride berikutnya harus ikut!

Kami hanya sebentar di sini. Makan, istirahat sebentar, minum susu (takut mulas), isi ulang bekal, berangkat!

Taman Nasional Bali Barat – 2: Menerjang Badai

Ah, rasanya semangat lagi setelah makan. Kayuhan saya tiba-tiba jadi ringan. Yang lain juga sepertinya sama. Ivan, Esa dan Pak Je sudah duluan di depan, hilang entah ke mana. Saya tak mau langsung full gas. Tak mau ambil resiko dengan makanan tadi karena perjalanan masih panjang. Saya, Ade, Adi dan Ajik beriringan santai di belakang. Kecepatan kami stabil, bergantian menarik di depan. Sampai di satu titik dimana hujan mulai turun. Ah, apalagi ini?

Dari titik ini, kami tak ambil gambar sama sekali.

Setelah trek hutan barusan, sebenarnya ini bukan masalah besar buat kami. Malah senang, kaerna barusan kepanasan. Yang sebenarnya bikin saya kesal adalah, saya harus berhenti sebentar karena baru ingat charger dan kamera belum dibungkus plastik. Yang saya amankan tadi pagi hanya pakaian. Arrgh. Melengos malas ke belakang, saya persilahkan teman-teman duluan. Mereka mau cari tempat berteduh dulu, katanya (yang sialnya saya tak begitu perhatikan).

Sudah, selesai re-packing, hujan makin deras. Ah, tak peduli lagi. Saya pedal penuh ke depan. Saya ingin kejar mereka lagi. Ide tertinggal di belakang saat malam nanti terdengar mengerikan. Saya hanya tertunduk sambil terus memedal, memecah hujan yang sepertinya tak mau tahu kalau ada seseorang di sini yang sedang putus asa. Haha.

Sebenarnya di satu titik saya sempat mendengar sepertinya ada yang memanggil. Saya toleh ke belakang, tapi tak ada yang muncul. “Udahlah, mungkin salah denger”. Lanjut pedal lagi karena kondisinya masih hujan. Saya tak ingin tertinggal makin jauh dari yang di depan. Trek saat itu mulai berubah jadi rolling kembali, rumah penduduk juga mulai terlihat. Ini tandanya kami sudah dekat kota Negara, dan sudah keluar wilayah Taman Nasional.

Hujan mulai reda. Di depan terlihat ada orang sedang mengayuh sepeda. Harapan saya sebenarnya Ade, Adi atau Ajik yang barusan duluan. Tapi ini Pak Je! Lah, yang lain ke mana?

Belakangan saya baru tahu kalau memang mereka yang memanggil barusan. Gara-gara gak denger Ade nih…

Saya berasumsi barusan tadi mungkin memang dipanggil. Ade mungkin memilih berteduh karena membawa kamera juga.

Tak mau ambil pusing, toh mereka udah gede juga. Pak Je yang sedari tadi katanya sendiri, dengan sigap memimpin di depan. Saya ganti sebentar, dan ternyata anginnya lumayan kenceng. Haha. Speed kami yang tadinya 25 kmh turun jadi 20, drastis. Pak Je super memang. Ah, saya sekuat tenaga berusaha memedal agar kecepatan kami tak terlalu jauh turun. Pak Je sepertinya sedikit senyum di belakang melihat saya struggling di depan :v

Sampai akhirnya kami ketemu Ivan dan Esa yang hilang semenjak tadi. Wogh! Tak sangka bakal bisa menysul saat mereka masih mengayuh. Jadi rombongan terbagi dua, 4 di depan dan 3 di belakang.

Hari sudah mulai sore. Saya khawatir. Lagi.

Kota Negara terlewati, daerah Jembrana juga sudah hampir habis kami kayuh, tapi yang 3 teman di belakang tak juga terlihat. Sebelum perbatasan Jembrana – Tabanan, kami berhenti sebentar di minimarket. Tirtamart. Ini bakal saya ingat terus. Tempatnya bagus, ada banyak tempat ngemper untuk rebahan. Begitu masuk dengan atribut lengkap, kami lagsung ditanyai sedang ikut event apa? Ternyata penjaga tokonya sudah sering melihat orang-orang bersepeda lewat jalan itu, dan mereka singgah di sini. Kami juga ditawari beristirahat sebentar dan ditunjukkan tempat cuci muka. Yak, itu dia! Muka kami sudah penuh lumpur sedari tadi :v

Tebak siapa yang datang! Ade berhasil menyusul kami selagi di sana! Ha! Mantap De! Tapi itu juga artinya Adi dan Ajik kembali kembali hanya berdua di belakang 😐

Sekarang 5 di depan dan 2 di belakang. Saya makin khawatir, tapi kami juga tidak bisa ambil resiko untuk menunggu karena hari juga mulai gelap. Kami lanjut lagi setelah memakai lotion Kanterpein yang sebenarnya kami tau tak akan baik, tapi kami tak bisa berhenti sebelum sampai rumah!

Tabanan!

Entah kenapa mendengar nama Tabanan saya jadi begitu semangat. Tabanan seperti milestone. Penanda bahwa Badung tak jauh lagi. Tapi di sini juga kami mencapai limit kami.

Saat itu tiba-tiba Ivan atau Esa (saya lupa) mundur ke belakang. Ada hal penting. Kita perlu makan. Saya langsung tertegun, baru sadar sudah 6 jam terlewat semenjak kami makan terakhir. Kami perlu makan berat sekarang. Kalau tak diingatkan, mungkin kami akan berakhir dengan bonk (kehabisan energi, kolaps), terlalu terlambat untuk kami makan dan pulih kembali. Sedari tadi yang ada di otak saya hanyalah Kediri, Puspem dan rumah. Mental saya sudah mensugesti dirinya sendiri untuk membuat saya terus mengayuh.

Kami hanya makan Pop Mie di pinggiran jalan, di Pantai Yeh Leh, tepat di tugu perbatasan Tabanan dan Jembrana. Cukup. kami langsung lanjut lagi.

Saya tahu kalau Tabanan tak akan mudah untuk dilewati. Ditambah saat ini hari sudah gelap. Kami pasang lampu kami masing-masing. Matahari sudah jauh di barat, sepertinya mendokan kami untuk terus maju. Tadinya saya pikir rolling di sini tak akan lebih parah dari Jembrana barusan. Saya salah.

Mungkin semua sudah tahu kalau Tabanan, terutama di lintasan provinsi-nya merupakan jalan dengan tanjakan dan turunan ekstrim. Seringkali truk atau bus yang lewat di sana mengalami kecelakaan. Hari ini, kami akan melewatinya dengan sepeda, di malam hari. Penerangan kami minim. Lampu sepeda yang kami bawa tak memiliki terang yang cukup untuk menerangi jauh ke depan. Paling jauh hanya 20 meter. Sedangkan jalan di sini bisa berubah drastis secara tiba-tiba. Barusan datar, tiba-tiba tanjakan terjal dan panjang.

Beberapa kali saya harus memaksa paha saya yang sudah limit untuk off-saddle*. Saya tak sanggup lagi menambah cadence* dari yang sekarang. Napas saya sudah di ujung lagi. Arrgh. Lampunya Esa sempat jatuh. Kemudian Ivan dan saya sempat terlalu jauh di depan karena ini. Kondisi jalan di sana memang tak layak untuk bersepeda malam. Penerangan jalan tak selalu ada, bahkan di tempat-tempat kritis seperti turunan dengan belokan tajam.

Cadence: kecepatan putar pedal, rpm.
Off-Sadle: pedal sambil berdiri

Di turunan, kami tak punya pilihan lain selain mencengkram rem kami kuat-kuat, sambil bertahan di sadel agar tak terjungkal ke depan. Kemudian di tanjakan, kami harus sekuat tenaga mendaki dengan kondisi badan kami yang seharusnya sudah istirahat panjang sedari pagi. Saya sudah tak merasa pegal lagi. Paha dan badan saya sudah hampir mati rasa. Ivan juga. Tapi saya tak sadar ini sampai kami berhenti di sebuah warung untuk isi ulang lagi. Begitu lepas cleat, saya hampir tak bisa mengontrol jalan saya.

Ya Tuhan. Itu masih di daerah Megati.

Begitu kembali ke jalan, saya mendapat panggilan dari rumah. Wajar saja, saya sampaikan ke Ibu kalau prediksi kami sampai rumah adalah sore mejelang malam. Ini sudah hampir jam 9 dan kami masih di jalan. Saya coba jawab senormal mungkin sambil terus mengayuh. Haha. Saya tak ingin orang rumah khawatir. Sial. Sial. Sial.

Setelah itu kami cukup stabil di jalan. Tanjakan-tanjakan berat sudah terlewati. Tapi saya baru bisa lega setelah melihat Gapura masuk Kota Tabanan dan Patung Bung Karno di Kediri. Rasanya saya mau nangis saat itu juga. Perjalanan tak masuk akal ini hampir berakhir.

Pusat Pemerintahan Kabupaten Badung!

Akhirnya ya Tuhan! Akhirnya kami finish! Saya terharu. Semenjak dari Kediri tadi saya sudah tersenyum sendiri di belakang. Sudah. Ini sudah selesai.

Sampai!

baru keluar lagi kameranya

Ujian terberat dalam hidup saya sejauh ini, bertahan hidup di jalan selama dua hari dengan sepeda. Rekor terjauh saya keluar rumah dengan kendaraan sendiri itu hanya sebatas Kintamani kemarin. Dua hari terakhir kami menggambar garis tipis sepanjang pesisir Pulau Bali dengan GPS kami. Achievment unlocked! Yang dibilang gak bakal bisa sudah kami lakukan dengan susah payah.

Tapi sayangnya kami finish tak lengkap. Saat kami sampai di Puspem, Adi dan Ajik masih di daerah Tabanan. Kami tunggu sampai tengah malam di sana, rebahan merenungi apa saja yang terjadi 48 jam belakangan.

Mereka akhirnya sampai jam 2 pagi. Selamat. Lelah, tapi selamat! Kami duluan pulang tepat tengah malam.

Sudah. Kami sudah mengukir sejarah, setidaknya untuk memori kami bertujuh. Akan ada cerita menarik yang bisa kami ceritakan ke anak-anak kami nanti. Entah apakah mereka akan turut mengayuh atau tidak, buat saya itu terserah mereka. Yang saya ingin mereka resapi, bahwa semua tantangan itu berawal dari pikiran, dan dengan pikiran juga kita bisa menaklukkannya. Dua hari ini, kami telah buktikan kalau semua ini bisa, bahkan hanya dengan modal dengkul, dan di kondisi hampir limit. Tanpa mobil yang mengikuti kami, tanpa support vehicle, kami mengayuh hanya dengan keyakinan dan niat untuk sampai rumah.

Saya, yang baru mulai 6 bulan lalu, langsung digembleng oleh mereka juga dan diseret untuk ikut petualangan seru ini. Suatu kerhormatan berbagi kenangan epic ini bareng kalian.

Strava 1 — Strava 2

2016-07-25-12.05.36-1.jpg.jpg

Terimakasih Tuhan, Adi, Ivan, Esa, Jaya, Ade, dan Azi!

Sincerely,
Your
silly-tailing buddy

 

Credit:
Sebagian foto di dua post terakhir serta video works (menyusul) karya Ade Putra Yudha, Our Proud AllRounder-Cameraman-Cyclist!

Standar
Jurnal Sepeda

Epic Journey: DNS Tour Keliling Bali

Etape 1

Selama libur panjang Lebaran lalu (7-8 Juli 2016), saya bersama teman-teman DNS melakukan sebuah perjalanan yang luar biasa. Yang belakangan lebih seperti perjalanan bertahan hidup di jalan selama dua hari. Pada dasarnya saya sendiri pun awalnya tidak yakin apakah saya sanggup. Tapi ada pepatah, You’ll never know till you tried!

Dari Adi dan Ivan

Ide gila ini pertama kali tertanam di kepala saya karena ditularkan oleh sepuh kami, Adi. Satu malam di awal tahun 2016, saya mendapat undangan ke bazaar di Banjarnya. Saat itu kami belum begitu banyak bertemu. Hanya sesekali di event musik dan ketika saya yang minta bantuan untuk beli kupon bazaar saya. Perlu diketahui juga, Adi ini adalah orang yang menjerumuskan saya ke dunia sepeda.Yang meyakinkan.

Jadi malam itu kami ngobrol dan sampai di satu topik, Adi punya keinginan suatu saat membuat perjalanan keliling pulau dia atas sepeda, dan singgah di Singaraja untuk bermalam. Kebetulan salah satu adiknya sedang belajar di sana, jadi masalah akomodasi bisa dipermudah. Kami tak bahas detail, tapi memang saya langsung merasa tertantang.

Ide itu mengendap begitu saja di memori saya karena memang saya rasa perlu persiapan matang di mental dan kemampuan, sedangkan pengalaman saya bersepeda di atas 50 Km saat itu masih bisa dihitung satu tangan. “Masih jauh lah…”

Semua terlewat, dan tanpa terasa sudah sekitar 4 bulan saya nimbrung bareng geng sepeda penuh sahaja ini.

Hari itu, satu dari sekian chat log di grup WhatsApp menarik perhatian saya. Ivan share sebuah link video. Dan video itu adalah sebuah video perjalanan dari tiga orang cyclist di Jepang yang melakukan perjalanan dari ujung selatan ke pulau paling utara, semua di atas sepeda, selama satu bulan lebih. Gila! Tapi terlihat menyenangkan. Saya langsung ingat dengan ide yang Adi lontarkan beberapa bulan lalu. Entah siapa yang mengungkit lagi ide itu di chat, saya lupa. Tapi yang pasti dari sanalah cerita ini berawal.

Off we go!

Singkat cerita sekitar dua bulan kemudian, inilah kami. DNS Full Team siap berangkat keliling Bali.

2016-07-10-06.57.57-1.jpg.jpg

Sayangnya, bukan disponsori KFC – KiKa: Ivan, Ade, Jaya, Esa, saya, Adi, Azi

Jadi rencananya adalah kami akan susuri pesisir timur Bali terlebih dahulu. Mulai dari Denpasar Ke Gianyar – Karangasem – Klungkung, kemudian Buleleng di hari pertama, untuk kemudian lanjut ke Jembrana – Tabanan dan akhirnya kembali ke Badung di hari kedua. Jadwal kami di jalan padat, kami tahu. Kami akan berada di atas aspal seharian penuh untuk dua hari ke depan.

Pagi itu, semua berjalan seperti biasanya di titik kumpul. Hanya saja kali ini partisipannya lebih banyak. DNS Full Team. Termasuk Adi yang paling jarang ikut, kali ini ada 🙂 Dan rute kali ini lebih panjang dari biasanya.

Semua siap. Kami mulai berangkat ke arah timur menuju Bypass Ida Bagus Mantra. Lajur besar penuh angin dengan pemandangan luar biasa, asal tidak kepanasan pas kesiangan. Semua masih penuh dengan energi dan semangat, jadi speed awal masih mantap. Lajur ini juga sifatnya rolling, rentetan turunan dengan sedikit tanjakan. Kebanyakan jalan datar. Tidak ada masalah.

2016-07-10-06.57.52-1.jpg.jpg

We’re not even really started yet, but the view is already amazing

2016-07-09-11.48.51-1.jpg.jpg

Berhenti sebentar…

Dan tanpa terasa kami sampai di Pura Goa Lawah. Pemberhentian pertama kami untuk menarik napas sebentar, mohon doa restu dan bimbingan selama perjalanan sambil foto bersama.

2016-07-10-10.47.16-1.jpg.jpg

First stop!

Perjalanan sebenarnya baru akan dimulai setelah ini, karena trek aman sudah berakhir. Kami akan masuk lajur pedesaan yang lebih kecil.

Flat Tire Pertama: Ajik

Jadi rencana berikutnya setelah Goa Lawah adalah cebar-cebur di Tirta Ujung. Ade yang paling semangat. Entah kenapa dari pertama diajak ke Jatiluwih untuk mandi di sungai, ide main air selepas sepedaan jadi nomer satu. Tapi dalam perjalanan ke sana, ada insiden kecil. Kecil tapi double. Ajik (Azi) flat-tire karena tanpa sengaja menghantam lubang jalan. Sebenarnya insiden kecil. Tapi double karena yang flat depan dan belakang, sekaligus 😀

(flat tire: ban kempes)

Ajik pakai ban kecil, mungkin karena itu jadi lebih rentan flat dibanding ban yang lebih besar. Gak masalah. Semua bantu ganti dan tidak sampai 15 menit kemudian kami sudah jalan kembali. Off to tempat mandi!

Tapi sebentar, beberapa kilometer sebelum tempat tujuan, Adi kram kaki!

bentar dulu bro

DNS dan Indomaret

Jadi selama dua hari ini, setiap kami penuh peluh dan dahaga, lelah dan panas, Indomaret selalu ada sepanjang perjalanan. Kami tidak disponsori, diendorse atau apapaun. Tapi entah kenapa di setiap kota yang kami singgahi, bahkan di desa yang agak terpencil sekalipun, ada Indomaret. Indomaret adalah penyelamat. Selain untuk bekal dan isi ulang air, juga karena AC-nya.

Kami berhenti di Indomaret pertama di Karangasem, di kawasan Taman Ujung.

Nyesel, harusnya buat kartu member dulu sebelum perjalanan.

Tirta Ujung

Tempatnya agak masuk ke areal pemukiman, jadi tidak akan ketemu langsung di jalan besar. Jadi untuk mencapainya kita harus masuk ke areal sawah, kemudian menenteng sepeda kami turun ke areal kolam.

Tirta Ujung ini seperti semacam bendungan sungai. Airnya jernih, hijau karena lumut sih, tapi jernih. Sebenarnya senang sekali dengan ide setelah panas seharian di atas sepeda, kami akhirnya dapat berendam. Masalahnya adalah, melepas perlengkapan yang sedang dipakai :v. Helm, jersey, leg warmer, sepatu, headset, tas, kemudian mengamankan kamera. Barulah akhirnya bisa turun.

2016-07-25-12.11.16-1.jpg.jpg

2016-07-25-12.11.14-1.jpg.jpg

Lengkapnya bisa dilihat di video nanti 🙂

Kami agak ngaret di sini, saking keenakan berendam. Haha. Pada akhirnya fatal nih.

Trita Gangga

Sebenarnya saya agak bingung dengan semua nama ini. Tirta Ujung itu tempatnya dekat dengan Taman Ujung yang terkenal itu. Kita cuman berendam saja di sana. Makan siangnya nanti di Tirta Gangga. Tirta – Taman – Ujung – Gangga. Kalau saya sendiri mungkin sudah linglung di jalan.

Tirta Gangga letaknya lumayan jauh dari Tirta Ujung. Lupa berapa, tapi kalau tidak salah di atas sepuluh kilometer (mohon dikoreksi). Treknya menanjak, disertai macet, karena saat itu ada dewasa nganten, hari baik untuk pernikahan. Dalam perjalanan kami dihadang antrian mobil panjang karena di depan ada Bus parkir di pinggir jalan, jalan desa kecil.

abang lelah, dek…

Katanya untuk hari pertama, ini adalah tanjakan maut satu-satunya. Gak maut-maut amat, karena macet, jadi kita terpaksa berhenti di beberapa titik. Pada dasarnya rute pesisir Bali ini tidak terlalu ekstrim secara medan. Yang ekstrim adalah jaraknya. Terlebih hanya ditempuh 2 hari. Itu adalah sekitar 350 kilometer dibagi dua hari.

Oh iya, Adi mulai tertinggal di rute ini, dan seterusnya sampai keesokan harinya. Maaf Bli, haha.

Akhirnya, makan!

Nasi campur paling enak sedunia, karena diawali tanjakan

Flat Tire Kedua: Esa

Setelah makan dan menanjak sedikit, kami ketemu viewpoint lagi. Pemandangannya mengarah ke timur ke Gunung Lempuyang / Seraya. And you won’t want to miss this one.

Yang tidak kami sadari adalah, selama asik mengambil foto, di depan, Esa sedang kesusahan karena flat-tire. Haha. Tidak hanya ban dalam, ban luarnya ternyata koyak. Saya lupa tanya kenapa.

Ini lebih meyakinkan saya kalau selain faktor keberuntungan, untuk Bali Timur sebaiknya pakai ban besar dengan tekstur. Ban saya kebtulan dari awal 26C. Bongsor. Tapi badak, padahal saya selalu gak ngeh dengan lubang di jalan. Entah berapa kali saya masuk lubang, tapi syukur masih selamat sampai rumah. Keenakan lihat sekitar :v

Esa, ganti sendiri. Kita, nonton.

Hari sudah mulai sore ketika kami sampai di jarak 45 kilometer menuju Singaraja. Kami berhenti sebentar di dua tempat, Indomaret dan emperan toko. Adi masih belum ada tanda di belakang. Bablas sudah. Rencana kami untuk jalan-jalan di sekitaran hotel dan Pantai Lovina di malam hari sudah pasti tak bisa jalan.

2016-07-25-12.11.15-1.jpg.jpg

masih 45km lagi Pak!

Jam sudah menunjukkan pukul 17:00, dan 45 kilometer bukan jarak yang mudah. Terlebih kami sudah bersepda seharian. But we don’t go this far to whine about everything! Kami harus lanjut sampai Singaraja! Setidaknya untuk istirahat lebih cepat agar besok punya tenaga lebih.

Pantai Yeh Sanih

Sebenarnya saya (mungkin teman-teman juga) tak ingin menunda lebih jauh perjalanan ini bahkan dengan istirahat. Hari juga mulai gelap. Waktu ekstra yang kami habiskan di Tirta Ujung dan Tirta Gangga kelihatan akibatnya. Gambaran awal adalah kita sampai di hotel paling lambat jam 7 malam. Tapi ini sudah jam 6, dan kami masih berjuang untuk sampai di Singaraja. Sial.

Untungnya teman-teman masih punya akal sehat di depan. Saya dalam hati hanya terpikir kasur hotel semenjak tadi, akhirnya ikut menepi sebentar di gubuk tepi pantai. Ternyata Pantai Air Sanih (atau Yeh Sanih).

Duduk sebentar dan saya tersadar, ini sudah sore dan kami belum makan berat semenjak siang tadi. Hampir setengah hari kami bertahan di jalan hanya dengan ganjelan yang kami stok dari Indomaret terakhir tadi. Oke, we need to take it slow then. Apa yang lebih buruk dari sampai di hotel terlalu malam? Sampai di hotel terlalu malam tanpa tenaga sama sekali. Untungnya, Ade masih punya stok cokelat untuk dibagi-bagi! Makasi Ade! Atau, Makasi Ayuk? :p

Pantai Air Sanih sendiri sebenarnya luar biasa pemandangannya. Kami sampai tepat pada saat sunset. Sayangnya, keadaan kami mengenaskan, jadi suasana megahnya tidak begitu terasa. Haha. Lain kali kalau ke Bali Utara, akan saya sempatkan mampir di sini.

Sprinting With All Of Our Might to Singaraja

Berhenti sejenak memberi kami tenaga ekstra untuk sedikit kebut menuju Singaraja. Tolong jangan ditiru. Kami juga tak akan nekat 30 km/jam jika bukan karena keadaan. Saat itu sudah malam, penerangan jalan tidak terlalu bagus (bisa dibilang hampir tak ada lampu jalan). Kami hanya mengandalkan lampu sepeda yang tak seberapa terangnya, berusaha tetap dalam rombongan agar tidak tertinggal.

Di titik ini, saya sama sekali tak berniat menyentuh handphone atau kamera. Jadi maaf, tak ada foto yang bisa saya pakai.

Pikiran saya sekarang ada di Adi. Dia tertinggal semenjak Indomaret terakhir, dan hari sudah malam. Bersepeda malam hari dengan kondisi seperti ini sudah terdengar mengerikan bagi saya. Adi, di suatu tempat di belakang, menjalaninya sendiri.

Hati saya sedikit meleleh ketika di depan terlihat gapura, yang tiba-tiba terlihat begitu indah. Gerbang masuk Singaraja. Ya Tuhan, akhirnya! Saya tertawa, refleks. Kita sampai Singaraja, sampai Kota Singaraja! Ini artinya hotel hanya sekitar setengah jam perjalanan lagi. Kalau tidak sedang mengayuh, mungkin saya bakal loncat kegirangan.

Beberapa kilometer kemudian kami singgah sebentar, kembali di Indomaret 🙂 (Indomaret, jika kebetulan baca ini, kami siap di-endorse). Saya berharap ini adalah isi ulang terakhir sebelum kami mencapai hotel, atau paling tidak tempat makan. Dan doa saya terkabul. Tempat pemberhentian berikutnya adalah KFC. Satu-satunya KFC di Bali Utara, katanya.

Hal pertama yang keluar dari mulut saya:

Ini beneran KFC singaraja kan?

Tumben saya segirang ini melihat wajah Colonel Sanders. Kami, tujuh orang dari Denpasar berangkat dari KFC jauh-jauh ke Singaraja untuk makan di KFC lagi. Haha. Alasannya, kami pikir saat itu masih musim libur lebaran. Rumah makan bakal kebanyakan tutup. Dan hari sudah kelewat malam. Ada pilihan lain?

2016-07-25-12.11.16-2.jpg.jpg

Adi belum juga sampai. Saya mulai khawatir, dan tidak enak hati sebenarnya.

Hotel Putri Sari

Akhirnya kami putuskan untuk bungkus seporsi ayam dan nasi besar. Adi akan menyusul langsung ke Hotel. Kami lanjutkan perjalanan dengan perut sudah terisi, sedikit lagi menuju peristirahatan. Aah. Setengah dari beban hari ini hilang rasanya. Saya sudah tak tahan ingin mandi dan melepas semua atribut yang terpakai sekarang. Dan tidur.

Kami sampai hotel jam 9 malam. Adi menysul tak lama kemudian (tak sampai 15 menit rasanya). Jadi jika ditambah dengan waktu makan tadi, Adi tertinggal sekitar 45 menit. Jauh. Banget. Benar-benar salut dengan sepuh kami ini. Modalnya hanya yakin, dan terus pedal. “Meski pelan, pasti bakal sampai!”, katanya.

Sedikit lega, karena kami semua sudah sampai dengan selamat, meskipun agak sedikit mengenaskan. Total sekitar 7 jam lebih kami di atas sepeda, seharian ini. Rekor buat saya, dan badan saya rasanya mengamini. Rasanya begitu capek. Tapi rasa lega karena sudah sampai sepertinya sedikit mengurangi beban.Saya sempatkan keluar sebentar bareng Ade untuk mencari sedikit cemilan. Tebak, di mana? INDOMARET!

Secara ajaib, ada Indomaret 10 meter dari hotel tempat kami menginap. Apakah ini yang namanya jodoh, Tuhan?

 

Jadi hari itu berakhir baik, meski sedikit berantakan, tapi kami sampai! Agaknya sudah terlalu panjang. Hari kedua akan dilanjutkan di post berikutnya 😀

Standar